Negara, termasuk pemerintahan dan seluruh perangkatnya, serta sistem dan aturan yang ada di dalamnya, sebenarnya hanyalah alat (wasilah) untuk mencapai tujuan (ghayah). Oleh karenanya, semestinya yang bersifat sakral dan harga mati adalah tujuannya (sesuai kesepakatan, untuk konteks negara), sedangkan alat harus terus didinamisasikan sesuai dengan kemampuan atau kompatibilitasnya terhadap pencapaian tujuan.
Dengan demikian, “alat” ini harus selalu kita pelajari, kita buka, kita tempa, kita remas-remas aga tidak menjadi alat yang tumpul dan tidak berdaya guna. Kita tidak “sedang” dan “akan” berdiskusi mengenai “tujuan” supaya tidak membuang-buang waktu secara muspro dan membuat kita tidak beranjak move on.
Sampai kini, setelah 73 tahun diproklamasikan, tujuan kita sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD 1945 yakni membentuk sebuah negara “…yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur…” terasa semakin jauh panggang dari api. Bahkan fenomena-fenomena termutakhir semakin menunjukkan “ketidak-merdekaan” dan “ketidak-berdaulatan”nya dalam pengertian yang substansial.
Hal itu bisa ditandai dengan kondisi “alat” negara yang berupa pemerintahan, masih sangat jauh dari yang termaktub di sana juga, yakni “…pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, …memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa…”. Rumusan mewujudkan negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur merupakan cita-cita luhur seluruh komponen bangsa yang tidak lahir begitu saja, melainkan setelah melalui perjuangan yang benar-benar “hidup-mati” menghadapi kekejaman penjajahan selama 3 abad lebih (tentu bukan suatu waktu yang sebentar).
Tercapainya tujuan tersebut semestinya menjadi nafas jiwa dan raga segenap komponen bangsa, agar mereka yang gugur dalam perjuangan kemerdekaan tidaklah mati secara sia-sia belaka.
Oleh karenanya, jika kita membentuk suatu pemerintahan, maka tidak boleh asal ada, asal presiden, asal DPR, asal hakim, asal jaksa, asal polisi, asal tentara, dan asal-asalan yang lainnya.
Untuk itu, dalam Pemilu 17 April 2019 nanti, rakyat jangan asal pilih, asal nyoblos, asal dapat janji tanpa bukti, karena kemerdekaan ini diperoleh bukan dari asal-asalan, tapi sebuah perjuangan yang memerdekan harkat dan martabat sebuah bangsa. Pemerintah bisa diganti kapan saja, tapi rakyat tidak akan bisa diganti selamanya. Suara rakyat adalah suara Tuhan. Maka amanahlah dengan suara Anda.
Editor : M. Ghufron Rofii

0 komentar:
Posting Komentar